Washington, Gizmologi – YouTube menjadi platform media sosial yang dituding telah melakukan pembiaran terhadap penyebaran hoax tentang vaksin COVID-19. Tudingan serius ini datang dari pihak Gedung Putih Amerika Serikat.
Ya, Jen Psaki, seorang pejabat senior di Gedung Putih mengungkapkan bahwa YouTube tidak konsisten dalam memutuskan konten apa saja yang memenuhi syarat sebagai informasi yang bisa disebarkan di platform mereka. Dalam hal ini merupakan informasi yang salah mengenai COVID-19.
“Facebook dan YouTube adalah hakim, juri, algojo terkait apa yang terjadi di platform mereka. Mereka bisa menilai pekerjaan rumah mereka sendiri,” ungkapnya seperti dikutip dari Reuters, Minggu (25/7/2021).
Di satu sisi, Pemerintah Amerika Serikat (AS) saat ini tengah memerangi kesalahan informasi terkait vaksin, di antaranya mengenai efektivitas vaksin terhadap COVID-19, dan berita bohong mengenai penanaman microchip dalam vaksin, hingga efek samping vaksin terhadap kesuburan perempuan.
Pemerintah setempat mengklaim bahwa pihaknya saat ini tengah berjuang habis-habisan melawan kesalahan informasi tentang vaksin. Hal ini dikarenakan kecepatan vaksinasi melambat dengan adanya keengganan orang-orang di sana untuk divaksin, padahal risiko varian Delta sudah sangat tinggi.
Sebelumnya, Presiden AS Joe Biden juga sempat menuding Facebook sebagai penyebab peningkatan korban meninggal akibat COVID-19. Pernyataan ini diungkapkan ketika pemerintahannya menjalankan kampanye kepada media sosial agar mengambil langkah lebih agresif dalam memenuhi penyebaran hoax serta konten misinformasi, meskipun pada akhirnya tudingan ini dia klarifikasi sendiri.
Baca juga:
Joe Biden Klarifikasi Tudingan Hoaks COVID-19 kepada Facebook cs
Pihak Gedung Putih juga menyoroti laporan dari Center For Countering Digital Hate (CCDH) yang menunjukkan 12 akun anti-vaksin menyebarkan hampir dua sepertiga misinformasi anti-vaksin secara online. Enam dari akun tersebut diklaim saat ini masih aktif memposting konten di YouTube.
“Facebook adalah gorila seberat 800 pon di ruangan ketika datang informasi yang salah tentang vaksin. Google memiliki banyak jawaban dan entah bagaimana informasi seperti itu berhasil lolos karena lupa mereka memiliki YouTube,” ujar Imran Ahmed, Pendiri dan Kepala Eksekutif CCDH.
Pada Februari 2021, Gedung Putih sempat menghubungi pihak Facebook, Twitter, dan Google untuk menekan informasi yang salah tentang COVID-19. Mereka meminta bantuan untuk menghentikan konten tersebut supaya tidak menjadi viral.
“Kami ingin melihat lebih banyak upaya yang dilakukan untuk membatasi penyebaran informasi yang tidak akurat dari akun-akun itu,” ujar pihak Gedung Putih.
YouTube Membantah Tudingan
Menanggapi tudingan yang datang dari pihak Gedung Putih, juru bicara YouTube Elena Hernandez mengungkapkan bahwa hal tersebut tidak benar. Dia mengklaim, sejak Maret 2020 pihaknya telah menghapus lebih dari 900 ribu video yang berisi konten misinformasi tentang COVID-19 dan menutup channel dari akun yang telah diidentifikasi CCDH.
“Jika masih ada YouTube channel yang disebutkan dalam laporan yang melanggar kebijakan kami, kami akan mengambil tindakan, termasuk penghentian permanen,” pungkasnya.
Sebelumnya juru bicara Facebook Kevin McAlister juga menegaskan bahwa pihaknya telah menghapus lebih dari 18 juta informasi yang salah tentang COVID-19 sejak awal pandemi. Berdasarkan datanya, pengguna Facebook di AS menunjukkan penerimaan yang tinggi terhadap vaksin, karena tingkat keraguannya menurun 60% sejak Januari 2021.
Melalui blog-nya, Facebook juga meminta Gedung Putih untuk berhenti “menunjuk hidung” pihak lain dan harus lebih fokus pada langkah-langkah yang telah diambil untuk mendorong orang-orang agar mau divaksin.
Hanya saja, bantahan Facebook dimentahkan Gedung Putih. Pihaknya menuding bahwa Facebook telah berbohong karena tidak mencantumkan metrik yang meyakininan mengenai analisa tentang apa yang terjadi di platform tersebut.
“Itulah sebabnya setiap solusi yang mereka miliki dipertanyakan,” tegas pihak Gedung Putih.
from Gizmologi https://ift.tt/3ryJo4S
via IFTTT
0 Komentar