Pagi itu Chandra, 32 tahun, mengayuh sepeda kesayangan menuju ke tempat kerja di bilangan Kuningan, Jakarta. Selama perjalanan, Chandra jarang menemukan pesepeda lain seperti dirinya. Banyak orang lebih memilih naik kendaraan bermotor ke tempat kerja. Sampai pada suatu tanjakan di sekitaran Tebet, Chandra yang ngos–ngosan mengayuh dikejutkan dengan kemunculan pesepeda yang membalapnya dengan santai.
Baru sebentar menoleh melihat orang yang membalapnya, Chandra berubah kaget karena pesepeda itu ternyata orang tua dengan kisaran usia 60-an tahun, seorang kakek tua pikirnya. Chandra bergegas mengayuh sekuat tenaga berharap dapat mengejar kakek itu. Tapi justru si kakek makin menjauh lalu lenyap di balik rombongan pemotor membentang jalan.
Chandra bingung, belum habis pikir, bagaimana mungkin seorang kakek tua – yang diasumsikan tak sekuat dirinya – dapat membalapnya dengan mudah. Menjauhinya. Kemudian meninggalkan tanpa sempat menyapa dirinya. Sebagaimana pesepeda lain yang biasa membunyikan bel saat bertemu.
Namun ada satu hal yang luput dari penglihatan Chandra, yakni sepeda yang digunakan si kakek. Chandra tidak tahu bahwa kayuhan tenaga kakek itu dibarengi dengan teknologi elektrik dalam sepedanya. Teknologi yang memudahkan tiap pesepeda untuk mengayuh sepedanya dengan mudah, pada kecepatan tinggi, tanpa butuh daya upaya maksimal. Kakek tua itu telah memperdaya Chandra dengan sepeda elektrik atau lebih dikenal sebagai Ebike (electric bike) miliknya.
Lalu apa itu Ebike?
Ebike Hadir Sebagai Alternatif Berkendara
Sepeda Ebike kini memang semakin dikenal di industri sepeda dunia, setelah banyak pabrikan besar turut memproduksi sepeda yang dikenal ramah lingkungan tersebut. Modelnya yang makin mirip dengan sepeda konvesional membuat Ebike jadi lebih mudah diterima pesepeda maupun masyarakat awam di berbagai kota. Namun desain ergonomis seperti itu tidak dihasilkan secara singkat.
Kehadiran Ebike pertama kali tercatat pada kisaran tahun 1895 hingga 1899, ketika Ogden Bolton dan Hosea W. Libbey, dan John Schnepf mendaftarkan paten untuk model sepeda elektrik kreasi mereka. Masing-masing memiliki desain dan model paten berbeda. Kala itu, model Ebike membawa kerangka sepeda konvensional untuk dipasangkan mesin dan gas layaknya motor, dengan aliran daya mengarah ke hub di tengah roda. Menjadi alternatif dari penggunaan motor bermesin yang terasa berat dan mahal.
Revolusi model Ebike dengan tuas gas dan mesin terus berkembang, bahkan hingga kini model Ebike mirip motor semacam itu masih dapat ditemukan. Di Indonesia, kita dapat mengenalnya sebagai Sepeda Listrik atau Selis, yang sempat mendapat perhatian sekitar 5 – 7 tahun lalu. Namun modelnya yang ‘aneh’, berada di antara dua dunia, membuatnya kurang digemari. Baik oleh pesepeda maupun pemotor.
Perkembangan lainnya, membawa Ebike untuk hadir layaknya sepeda konvesional. Tanpa tuas gas, tanpa mesin besar yang menganggu. Melainkan dengan memanfaatkan motor elektrik pemberi daya di dalam tuas pedal atau biasa disebut sebagai pedal assist. Sumber dayanya sendiri didapatkan dari bateri yang disematkan pada batang atau di luar frame sepeda.
Yamaha menjadi salah satu pabrikan yang berhasil mengembangkan Ebike modern pertama di dunia. Riset yang dilakukan sejak 1973 dengan mesin bertenaga bensin, terus berkembang hingga pada tahun 1989 mereka berhasil menemukan prototype mesin dengan mekanisme yang disebut “Pedal Assist System”. Sampai akhirnya mereka berhasil meluncurkan Yamaha PAS pada tahun 1993 yang diklasifikasikan sebagai sepeda, bukan kendaraan bermotor, yang dijual serentak pada tahun 1994 di Jepang.
Teknologi Pedal Electric System
Pedal Assist boleh dibilang menjadi unsur utama sehingga sebuah sepeda dikatakan sebagai sepeda elektrik atau Ebike. Dibandingkan dengan tarikan tuas gas seperti motor, keberadaan pedal assist membuat fitrah sepeda sebagai kendaraan transportasi yang bergerak dengan dikayuh tetap terjaga. Yang membedakan antara satu Ebike dengan yang lain hanya pada penempatan letak motor pendorongnya saja. Ada yang menggunakan teknologi Pedal Electric System (Pedelec) sama seperti Pedal Assist di bagian pedal, sementara lainnya memanfaatkan Electric Hub Motor pada bagian freehub roda belakang.
Pembeda antara satu Ebike dengan yang lain hanya pada penempatan letak motor pendorongnya saja.
Saya sendiri lebih tertarik membahas tentang mekanisme melalui pedal. Selain terlihat lebih efisien, model sepeda dengan teknologi ini masih tetap terlihat sebagai sepeda konvesional, dengan potensi upgrade free hub sesuai selera.
Mekanisme gerak melalui pedal assist sebenarnya cukup sederhana. Pesepeda cukup mengayuh pedal dengan daya dorong yang dimiliki, nantinya motor kecil yang terletak pada hub belakang maupun tuas penghubung pedal akan memberi tambahan tenaga instan. Tambahan tenaga dari motor penggerak didapatkan dari energi listrik pada baterai yang tersimpan dalam rangka sepeda. Bantuan daya elektrik tersebut dapat membuat pesepeda jadi lebih efisien menggunakan tenaganya sendiri.
Variasi dorongan pun sudah bervariasi mulai dari rentang 3 percepatan, hingga 5 percepatan berbeda. Dengan batas maksimal bisa memberi dorongan sekitar 32 km per jam yang berasal dari mekanisme elektrik saja. Jika dikombinasikan dengan daya dorong dari kaki pesepeda serta kontur jalan yang landai atau menurun, maka kecepatan maksimal dapat mencapai angka lebih tinggi lagi.
Maka apa yang terjadi pada si kakek, yang dilihat Chandra, kini menjadi lebih masuk akal. Meski secara nalar kayuhan orang tua tidak terlalu bertenaga, namun dengan kombinasi dari pedal assist, membuat kayuhan sepedanya jadi berkali-kali lipat dibanding kayuhan biasa.
Kinerja baterai dari Ebike sendiri akan sangat bergantung pada kebiasaan si pesepeda itu sendiri. Kita ambil contoh dari baterai milik salah satu produk Polygon, Entiat E. Sepeda ini memiliki tiga mode sistem assist lewat pedal elektrik. Pada mode BOOST, jarak yang ditempuh mencapai 50 km. Sedangkan pada mode TRAIL dapat menempuh jarak 75 km, dan pada mode ECO dapat menempuh jarak 100 km.
Setelah baterai habis digunakan maka fungsi elektrik pun akan hilang dan pesepeda kembali mengandalkan kayuhan dari tenaga sepenuhnya. Maka memperhitungkan jarak tempuh dan model penggunaan dari daya motor akan sangat berpengaruh ketika menaiki Ebike. Bagian ini dapat disebut sebagai salah satu titik kelemahan dari Ebike. Pesepeda tidak dapat bebas bersepeda tanpa dekat dengan sumber energi listrik di sekitarnya.
Baca juga: Samsung Galaxy Z Flip3 5G dengan IPX8, Bisa Basah-basahan Sambil Streaming!
Ebike Menjadi Tren Baru di Industri Sepeda
Pabrikan sepeda besar global seperti Giant, Specialized, Trek, hingga Polygon dari Indonesia menjadikan Ebike sebagai salah satu kategori produk mereka. Potensi pasar yang besar disertai perubahan gaya berkendara membawa optimisme tentang masa depan Ebike akan cerah.
Berdasarkan laporan dari New York Times, telah terjadi peningkatan hingga 145% selama kurun waktu 2019 hingga 2020 untuk penjualan Ebike di Amerika Serikat saja. Kondisi pandemi Covid-19 yang membatasi ruang gerak masyarakat, memang menjadi sebab salah satu sebab meningkatnya angka penjualan sepeda.
Meningkatnya penjualan Ebike juga terjadi di Eropa. Dari penelusuran Organisasi Pesepeda Eropa, penjualan Ebike akan terus meningkat dari 3,7 juta unit per tahun menjadi 17 juta unit per tahun pada tahun 2030 nanti. Saat ini saja, total penjualan Ebike di Eropa telah mencapai 17% dari total 30 juta unit sepeda yang terjual dalam rentang waktu satu tahun.
Menurut Mauel Marsilio, General Manager Confederation of the European Bicycle Industry (CONEBI) dikutip dari cyclingindustry.news, “Pertumbuhan dapat terjadi dengan lingkungan regulasi yang tepat dan strategi industri yang jelas di Uni Eropa dan selainnya.” Hal yang sepertinya mudah saja ditemukan di sana, yang memang sudah mendukung penggunaan sepeda sebagai sarana transportasi sejak lama.
Melonjaknya penjualan Ebike juga disebabkan semakin berkembangnya model dari sepeda jenis ini. Apabila sebelumnya sepeda elektrik banyak menyasar pada model City Bike, maka perlahan namun pasti juga menyasar ke model lain seperti Road Bike hingga Mountan Bike (MTB). Bahkan kini Ebike pun sudah mulai masuk ranah kompetitif untuk mengikuti perlombaan di kelas khusus. Kehadiran Ebike model MTB juga dapat menjadi pilihan untuk wisata sepeda. Ketika pesepeda yang kurang latihan dapat tetap menikmati proses bersepeda di pegunungan tanpa kepayahan disebabkan kehabisan tenaga.
Potensi Ebike di Indonesia
Pasar sepeda tanah air selalu cepat menangkap tren global termasuk Ebike. Polygon dan United, dua produsen besar sepeda di sini, telah menghadirkan produk sepeda elektrik andalannya masing-masing. Dengan variasi model beragam, membuat masyarakat dapat memilih dengan tepat sesuai karakter masing-masing. Dan itu cukup untuk membuat banyak orang tertarik dengan keberadaan Ebike.
Sampai datang satu hambatan besar, yakni harga.
Harga Ebike memang masih tergolong mahal, hal yang juga berlaku di banyak negara. Dengan kisaran harga pasar Rp 14 jutaan hingga Rp 20 jutaan, membuat kebanyakan orang berpikir dua kali ketika hendak meminang Ebike. “Mending gue beli motor matic, langsung gas,” begitu pikir mereka. Yang mana itu tidak salah sama sekali. Membuat pasar Ebike jadi lebih tersegmentasi ke kelas ekonomi menengah atas saja. Bagi pehobi sepeda sekalipun, membeli Ebike perlu pemikiran matang. Ada banyak jenis sepeda konvesional yang jauh lebih menarik dari segi model, investasi, serta prestise yang sering dijadikan alasan orang membeli kereta angin ini.
Dilihat dari fungsi dan fitur yang tersemat di Ebike dengan keterbatasan jarak tempuh untuk daya baterai. Sepeda ini memang lebih tepat digunakan untuk kebutuhan commuter atau rekreasi dalam jarak tertentu. Bukan penggunaan jarak jauh (touring) yang terkadang juga jauh dari sumber listrik untuk mengisi daya baterai.
Pemerintah daerah juga sebenarnya dapat mendorong penggunaan sepeda elektrik semacam ini untuk mengurangi tingkat kepadatan kendaran bermotor di jalan. Sekaligus mengurangi tingginya polusi udara terutama di kota besar. Semisal di Jakarta, dengan jumlah kendaraan bermotor telah mencapai angka 10.940.102 kendaraan pada Februari 2017 saja. Yang terus bertambah hingga kini, dan membawa Ibu Kota ini memiliki tingkat konsentrasi partikulat melebihi ambang batas normal hingga masuk kategori tidak sehat.
Apabila harga sepeda elektrik dapat lebih bersahabat, ditambah semakin meningkatnya literasi masyarakat tentang pentingnya menjaga lingkungan dari polusi berbahaya. Maka potensi penggunaan Ebike pada lebih banyak orang di masa depan menjadi sangat cerah. Baik untuk produsen maupun konsumen itu sendiri. Agar dapat mendorong orang-orang seperti Chandra yang rajin bersepeda ke kantor, serta si kakek, untuk konsisten menggunakan moda transportasi tersebut dalam kesehariannya.
from Gizmologi https://ift.tt/3jwipEg
via IFTTT
0 Komentar